Minggu, 24 November 2013

Etika Ultitarianisme Dalam Bisnis



Etika Ultitarianisme Dalam Bisnis
Ultitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1784-1832). Dalam ajarannya, Ultitarianisme merupakan “bagaimana menilai baik atau buruknya kebijaksanaan sospol, ekonomi dan legal secara moral”. Dengan kata lain, Ultitarianisme merupakan “bagaimana menilai kebijaksanaan publik yang memberikan dampak baik bagi banyak orang secara moral”.
Etika Ultitarianisme, kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sama-sama bersifat teologis. Artinya, keduanya selalu mengacu pada tujuan dan mendasar pada baim atau buruknya suatu keputusan. Keputusan bisnis merupakan kebijaksanaan bisnis, sedangkan keputusan etis merupakan ultitarianisme.
Terdapat dua kemungkinandalam menentukan kebijaksanaan publik yaitu:
1.      Kemungkinan diterima oleh sebagian kalangan
2.      Menerima resiko dari sekelompok orang atas ketidaksukaan terhadap kebijakan yang dibuat.
Bentham menemukan dasar yang paling objektif dalam menentukan kebijakan umum atau publik yaitu; apakah kebijakan atau suatu tindakan tertentu dapat memberikan manfaat atau hasil yang berguna atau bahkan sebaliknya memberikan kerugian untuk orang-orang tertentu.

Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Kriteria pertama adalah manfaat , yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Kriteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.

Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a.       Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bias kita persoalkan keabsahannya.
b.      Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
c.       Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang.

Kelemahan Etika Ultitarianisme
a.       Etika ultitarianisme tidak pernah menganggap serius milai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
b.      Etika ultitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
c.       Variable yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.

Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a.       Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b.      Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR (corporate social responsibility)
Kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.
Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.
Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.
Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.
Akhirnya, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).

Perusahaan Beretika Utilitarianisme
Dewasa ini perusahaan 'saling sikut'  menghadapi persaingan guna memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dan pengorbanan seminim mungkin seperti prinsip ekonomi. Namun, tidak jarang perusahaan tidak memikirkan etika Utilitarianisme. Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility). Hal ini bertujuan untuk menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Jadi Utilitarianisme merupakan tindakan yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak.
Beberapa perusahaan bahkan tidak memikirkan pihak lain dalam memperoleh keuntungan pribadinya. Contoh sederhananya saja pembangunan dan penyebaran minimarket alfamart, indomaret dan retel lainnya, mereka tidak memperhatikan bentuk usaha yang menjual bahan pokok lainnya. Karena secara tidak langsung mereka mengurangi kegunaan usaha warung kecil disekitarnya. Serta banyak lagi contoh besar lainnya. Meskipun tidak banyak perusahaan yang memikirkan etika kegunaan ini, namun masih ada perusahaan yang menerapkan etika ini contohnya saja PT. HM Sampoerna Tbk.
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (“Sampoerna”) merupakan salah satu produsen rokok terkemuka di Indonesia. Sampoerna menawarkan pengalaman merokok terbaik kepada perokok dewasa di Indonesia. Hal ini kami lakukan dengan senantiasa mencari tahu keinginan konsumen, dan memberikan produk yang dapat memenuhi harapan mereka.Sampoerna juga merasa  bangga atas reputasi yang kami raih dalam hal kualitas, inovasi dan keunggulan. Pada tahun 2012, Sampoerna memiliki pangsa pasar sebesar 35,6% di pasar rokok Indonesia, berdasarkan hasil Nielsen Retail Audit Results Full Year 2012. Pada akhir 2012, jumlah karyawan Sampoerna dan anak perusahaannya mencapai sekitar 28.500 orang. Secara tidak langsung Sampoerna memiliki kegunaan dalam penyerapan tenaga kerja.
Pada 2012 merupakan tahun yang cemerlang bagi Perusahaan dimana perusahaan Sampoerna mencapai rekor penjualan melebihi 100 miliar batang, ditambah berbagai pencapaian lain di banyak bidang.  Tahun 2012 juga merupakan tahun yang istimewa bagi Sampoerna, ditandai dengan HUT Sampoerna ke-99 – angka 9 memiliki makna khusus dalam sejarah Sampoerna – dan beberapa tonggak penting tercapai, antara lain pembukaan dua pabrik sigaret kretek tangan baru di Jawa Timur dan pendirian pusat pelatihan search and rescue di Pasuruan sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial Sampoerna. Selain itu  perusahaan mengambil keputusan yaitu dengan menggunakan metode utilitarian “ setiap pembeli rokok yang diproduksi oleh Sampoerna akan membayar pajak yang ditangguhkan”. Dengan demikian perusahaan tidak lagi membayar pajak, tetapi konsumenlah yang membayarnya.
Sampoerna juga mendirikan Putera Sampoerna Foundation dimana didalamnya terdapat pendidikan, pemberdayaan wanita, kewirausahaan dan bantuan kemanusiaan.  Jadi sekali lagi  etika Utilitarianisme merupakan tindakan yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak, termasuk yang telah dilakukan oleh Putera Sampoerna ini.


Sumber:
http://www.slideshare.net/LiscaArdiwinata/etika-utilitarianisme-dalam-bisnis
http://rhynanana.blogspot.com/2013/11/perusahaan-yang-telah-menerapkan.html
http://nicepointofview.blogspot.com/2013/11/perusahaan-beretika-utilitarianisme.html

Minggu, 03 November 2013

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

         Permasalahan lingkungan hidup telah menjadi perhatian dari banyak pihak, baik dalam skala lokal, nasional maupun indternasional yang timbul sebagai respon terhdap laju degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan yang semakin cepat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dunia. Permasalah lingkunagn hidup telah menjadi suatu penyakit kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal permasalahan lingkungan hidup yang selama ini terjadi di Indonesia disebabkan paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan daktor lingkungan (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkungan Hidup, 2008).

            Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan (Wariyanto, 2008).
            Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diatur bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelanjutan pokok ini ialah beban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dipertanggungjawabkan kepada pihak pencemar dan perusak, sehingga sanksi hukum dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mencemari dan merusak lingkungan hidup (Koesmono, 2008). 

   Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan.
Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo dan kasus illegal logging yang melibatkan Adelin Lis (Direktur Keuangan PT KNDi), merupakan beberapa kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi . 

            Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di dalamnya, sebagai institusi legal, suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, seringkali melanggar hukum. Namun demikian, dengan berbagai cara korporasi acapkali lolos dari jeratan hukum Korporasi sebagai subyek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan yang sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial (Setiyadi, 2008).

            Istilah korporasi biasa digunakan para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, di samping subyek hukum yang berwujud manusia (natuurlijk persoon). “Badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandng sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya”.

         Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah
meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.

            Dalam hal lingkungan hidup, pertanggungjawaban korporasi ini diatur dalam Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang, badan hukum dan/atau pengurusnya. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa konseskuensi penerapan ketentuan tentang tentang tanggung jawb korporasi ini harus benar-benar dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam mengelola perusahaannya agar tidak melakkan perbuatan yang mengakibatkan pengusaha dikenakan pidana penjara, disamping perusahaannya dikenakan denda karena telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatannya itu (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkunga Hidup, 2004 : 60).

KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM
            Eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja, atau bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya, yaitu oleh pendiri atau pendiri-pendiri yang menurut hukum perdata diakui memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang atau natural person dan badan hukum atau legal person.
   Chidir Ali berpendapat bahwa subyek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai
subyek hukum, di samping subyek hukum yang berwujud manusia (natuurlijk persoon). Selanjutnya mengenai korporasi ini H. Setiyono berpendapat bahwa badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandng sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya.
            Sebuah korporasi menurut hukum perdata merupakan legal person (rechtspersoon) yaitu badan hukum yang sifatnya legal personality. Namun apakah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana? Pada awalnya, pembuat undang-undang pidana berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana. Namun, seiring perkembangan zaman, korporasi juga bisa menjadi subjek tindak pidana. Di Amerika Serikat ada konsep untuk minta pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu melalui doktrin respondent superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu korporasi melakukan tindak pidana dalam lingkup pekerjaannya dengan maksud menguntungkan korporasi, maka tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi. Prinsip ini bertujuan mencegah perusahaan melindungi diri dan lepas tanggung jawab, dengan melimpahkan kegiatan perusahaan yang melanggar hukum kepada pekerjanya. Ajaran vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana.
            Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Dalam Pasal 46 ditentukan bahwa :

  1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. 
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasa hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
  3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
  4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. 
KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
            Kejahatan korporasi ditinjau dari bentu subjek dan motifnya, dapat dikategorikan dalam White Collar Crime dan merupakan tindak pidana atau kejahatan yang bersifat organisatoris. Selain itu kejahatan korporasi juga merupakan kejahatan yang bersifat kompleks dan bersifat ekonomis. Untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan korporasi tersebut. Korporasi diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindakan bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
             menetapkan suatu badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau pemerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, badan hukum mempunyai kewajiban untuk membuat kebijaka/langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu :
  1. merumuskan kebajikan di bidang lingkungan.
  2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak serta menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut.
  3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang menggangu lingkungan dimana juga harus dieprhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yag diberlakukan perusahaan yang bersangkutan.
  4. penyedian sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan hukum kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang.

 Agar suatu badan hukum dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :
  1. apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tidank pidana.
  2. norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang menggangu lingkungan.
  3. sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tesebut.
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENCEMARAN LINGKUNGAN
            Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.
            Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya. Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja. Keenam, pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh, publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya.
            Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya.
            Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu:
  1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggungjawab
    Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah bertanggungjawab. kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
  2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab
    Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasamya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.
     
  3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana temyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut.
Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut (http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008).
            Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008).
          Untuk menentukan siapa-siapa yang bertanggung­jawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.
            Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
            Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara : 
  1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
  2. melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik. 
  3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
  4. memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
  5. membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. 
  6. menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.
Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.
             demikian direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup

http://anya-afrie.blogspot.com/2008/09/pertanggungjawaban-korporasi-dalam.html