Permasalahan
lingkungan hidup telah menjadi perhatian dari banyak pihak, baik dalam skala
lokal, nasional maupun indternasional yang timbul sebagai respon terhdap laju
degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan yang semakin cepat seiring dengan
laju pertumbuhan penduduk dunia. Permasalah lingkunagn hidup telah menjadi
suatu penyakit kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal
permasalahan lingkungan hidup yang selama ini terjadi di Indonesia disebabkan
paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan
daktor lingkungan (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkungan Hidup,
2008).
Persoalan lingkungan hidup bagi
negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu
sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap
lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan.
Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu
lingkungan (Wariyanto, 2008).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diatur bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelanjutan pokok ini
ialah beban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dipertanggungjawabkan
kepada pihak pencemar dan perusak, sehingga sanksi hukum dipertanggungjawabkan
kepada pihak yang mencemari dan merusak lingkungan hidup (Koesmono, 2008).
Perkembangan
korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat
karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal
lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan
yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai
pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus
dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan.
Berbagai
peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk
Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo dan kasus illegal logging yang melibatkan
Adelin Lis (Direktur Keuangan PT KNDi), merupakan beberapa kasus
pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi .
Korporasi sebagai sebuah institusi
yang memiliki struktur unik dan dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang
mengatur tindakan personalia di dalamnya, sebagai institusi legal, suatu
lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat sesuatu ditentukan oleh
hukum, seringkali melanggar hukum. Namun demikian, dengan berbagai cara korporasi
acapkali lolos dari jeratan hukum Korporasi sebagai subyek hukum tidak hanya
menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan
hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial (Setiyadi, 2008).
Istilah korporasi biasa digunakan
para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang
hukum perdata disebut sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut
rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal
body. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu
ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap
badan ini diberi status sebagai subyek hukum, di samping subyek hukum yang
berwujud manusia (natuurlijk persoon). “Badan ini dianggap bisa menjalankan
segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan
itu yang harus dipandng sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari
pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya”.
Korporasi
sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas
hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para
pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum
perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum
merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat
perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di
pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan
yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi
berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah
meskipun
ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya
anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban
pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan
hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung
pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak
kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban
pidana.
Dalam hal lingkungan hidup,
pertanggungjawaban korporasi ini diatur dalam Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang, badan hukum dan/atau
pengurusnya. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa konseskuensi penerapan
ketentuan tentang tentang tanggung jawb korporasi ini harus benar-benar
dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam mengelola
perusahaannya agar tidak melakkan perbuatan yang mengakibatkan pengusaha
dikenakan pidana penjara, disamping perusahaannya dikenakan denda karena telah
terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
usaha dan/atau kegiatannya itu (Program Studi PSL USU & Kementerian
Lingkunga Hidup, 2004 : 60).
KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Eksistensi suatu korporasi sebagai
badan hukum bukan muncul begitu saja, atau bukan muncul demi hukum. Korporasi
sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya,
yaitu oleh pendiri atau pendiri-pendiri yang menurut hukum perdata diakui
memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut
hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan
korporasi adalah orang atau natural person dan badan hukum atau legal person.
Chidir
Ali berpendapat bahwa subyek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala
sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang
dinamakan badan hukum. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain
sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan
dimana terhadap badan ini diberi status sebagai
subyek
hukum, di samping subyek hukum yang berwujud manusia (natuurlijk persoon).
Selanjutnya mengenai korporasi ini H. Setiyono berpendapat bahwa badan ini
dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan
yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandng sebagai harta kekayaan badan
tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya.
Sebuah korporasi menurut hukum
perdata merupakan legal person (rechtspersoon) yaitu badan hukum yang
sifatnya legal personality. Namun apakah korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana? Pada awalnya, pembuat undang-undang pidana
berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana. Namun,
seiring perkembangan zaman, korporasi juga bisa menjadi subjek tindak pidana. Di
Amerika Serikat ada konsep untuk minta pertanggungjawaban pidana korporasi,
yaitu melalui doktrin respondent superior atau vicarious liability. Menurut
doktrin ini, apabila pekerja suatu korporasi melakukan tindak pidana dalam
lingkup pekerjaannya dengan maksud menguntungkan korporasi, maka tanggung jawab
pidananya dapat dibebankan kepada korporasi. Prinsip ini bertujuan mencegah
perusahaan melindungi diri dan lepas tanggung jawab, dengan melimpahkan
kegiatan perusahaan yang melanggar hukum kepada pekerjanya. Ajaran vicarious
liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum
(the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana.
Di Indonesia, salah satu peraturan
yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 46
yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Dalam Pasal 46 ditentukan bahwa :
- Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
- Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasa hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
- Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
- Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Kejahatan korporasi ditinjau dari
bentu subjek dan motifnya, dapat dikategorikan dalam White Collar Crime dan
merupakan tindak pidana atau kejahatan yang bersifat organisatoris. Selain itu
kejahatan korporasi juga merupakan kejahatan yang bersifat kompleks dan
bersifat ekonomis. Untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana,
dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian
tujuan-tujuan korporasi tersebut. Korporasi diperlakukan sebagai pelaku jika
terbukti tindakan bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas
dan/atau pencapaian tujuan badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang
(karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan bersangkutan yang
melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang
diberikan. Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan
keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
menetapkan suatu badan hukum sebagai pelaku
tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum
tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai
dan/atau pemerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang.
Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, badan hukum mempunyai kewajiban untuk
membuat kebijaka/langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu :
- merumuskan kebajikan di bidang lingkungan.
- merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak serta menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut.
- merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang menggangu lingkungan dimana juga harus dieprhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yag diberlakukan perusahaan yang bersangkutan.
- penyedian sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Jika
terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan
dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan
hukum kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan)
dilakukan tindak terlarang.
Agar suatu badan hukum dapat
ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan, yaitu :
- apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tidank pidana.
- norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang menggangu lingkungan.
- sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tesebut.
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENCEMARAN LINGKUNGAN
Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban
korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum
(KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip
pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana
yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke
persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere
non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid)
tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.
Pentingnya pertanggungjawaban pidana
korporasi dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa
pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil
menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut
karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan.
Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut
perusahaan daripada para pegawainya. Ketiga, dalam hal tindak pidana serius,
sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang
dijatuhkan daripada pegawai tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap
perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi
kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya.
Kelima, apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha
yang ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak
pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja. Keenam,
pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan
pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu
mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh,
publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu
dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan
ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah
pegawainya.
Menurut Barda Nawawi Arief, untuk
adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan
sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah
subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat
undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan,
selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya.
Mengenai sifat pertanggungjawaban
korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem
perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu:
- Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggungjawab
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah bertanggungjawab. kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. - Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab
Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasamya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. - Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana temyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut.
Dalam
Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum
yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan
bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan
selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau
yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut (http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008).
Mas Achmad Santosa mengatakan,
kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan 46 UU No.23/1997
merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda.
Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997.
Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan
korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver),
keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan
karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang
diembannya di dalam suatu perusahaan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008).
Untuk menentukan siapa-siapa yang
bertanggungjawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus memikul beban
pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin
(lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat
pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen
tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan
pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari
dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban
pengurus-pengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan
mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran
itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut
terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.
Memperhatikan ketentuan Pasal 6
UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi
yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46
UUPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang
lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur,
para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup
perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara
bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan
terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
Korporasi dapat mengurangi resiko
tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara :
- memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
- melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik.
- mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
- memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
- membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang.
- menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Direktur
perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam
hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Hal ini
merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh
atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus
melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab”.
Kegagalan
untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya merupakan
pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan
tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena
pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih
tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin constructive
fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.
demikian direktur tidak dapat melepaskan diri
dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan
“kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk
melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup
http://anya-afrie.blogspot.com/2008/09/pertanggungjawaban-korporasi-dalam.html
saya memberikan pujian kepada mr pedro cukup atas bantuannya dalam mengamankan pinjaman untuk membeli rumah baru kami untuk keluarga kami. pedro adalah kekayaan informasi dan dia membantu mendidik saya dan keluarga saya mengapa pinjaman rumah adalah pilihan terbaik untuk situasi khusus kami. setelah berunding dengan pedro jerome dan penasihat keuangan kami semua orang setuju bahwa pinjaman rumah adalah solusi yang tepat. Anda dapat menghubungi mr pedro jerome jika Anda juga mencari pinjaman apa pun di email / email whatsapp: pedroloanss@gmail.com whatsapp: +1-8632310632
BalasHapus